Welcome to Blog Ghea INFO Thank you for your visit Indonesian Language Blog It Is To Use It In Your Language, Use Google Translate

Jumat, 19 November 2010

Di Bawah Pohon Mahoni

Senja
Menghindari senja, aku pun harus bertemu dengan senja itu. Menunggu kesetiaan dan kejujuran di bawah pohon mahoni yang berada di halaman sebuah bangunan TK yang sudah tua. Sebuah ayunan yang satu-satunya permainan anak yang tersisa dibuai angin kencang. Lalu, rintik hujan singgah di ayunan tersebut. Hujan semakin lebat, menyuruhku menepi ke bawah pohon mahoni. Bukan tentang hujan, sebenarnya. Tapi saat ini hujan menemaniku yang gelisah menunggu Darmawan. Hujan menjadi jurus ampuh untuk manakar kesetiaan dan kejujuran itu. Berdiri di bawah mahoni, aku bisa melihat kedatangannya dari ujung jalan. Walaupun rintik-rintik hujan dari sela-sela mahoni singgah di tubuhku.

Dari ujung jalan, Darmawan berlari melintasi hujan. Langkah cepatnya, adalah pertanyaan yang menyediakan jawaban buram untukku. Apakah itu langkah kesetiaan dan pengorbanan atau itu adalah langkah kebimbangan. Terasa darahku naik ke ubun-ubun, dadaku berdebar sangat dahsyat ketika Darmawan berada di hadapanku dengan nafas tersengal-sengal. Sebentar ia berdiri, menyaksikan bagaimana aku. Ia menggigil kedinginan bersamaan dengan air mataku yang jatuh.

“Padahal aku mengenal dirimu sebagai wanita yangkikir air mata.” Darmawan menatap tajam ke arahku
“Tapi kali ini berbeda, Mawan,” aku menyambung kata-katanya

Darmawan menarik tanganku, membawaku berlari menuju bangunan TK. Kami duduk menepi. Bersandar di bangunan Taman Kanak-Kanak yang sudah tua itu.

“Mawan!” Sapaan akrabnya yang acap kali aku panggil. “Jangan pernah berpikir aku berkorban,” kataku dengan suara yang terisak. “Pastinya dirimu mengenal bagaimana aku. Pernah aku berkorban? Untuk satu hal yang kecilpun aku tidak mau, Mawan!” Sinar mata Darmawan tajam, walau ketika itu ia basah kuyup. Saat ini, sepi sedang berada di antara kami karena Mawan tak memberi sedikit pun tanggapan. Aku duduk sejajar dengan Mawan. Daun mahoni yang disinggahi butir-butir hujan yang semakin lebat menjadi tontonan kami berdua. Tak ada instrument selain lebatnya hujan. Desah nafas Darmawan yang selalu aku dengar apabila berada di sampingnya saat ini tak terdengar.

“Aku tak akan berkorban, Mawan!” Air mataku kembali jatuh. “Sekalipun dia sahabatku.” Aku menyambung kata-kataku sambil mengusir sepi. “Tapi, berpikirlah!” Ada pertempuran besar di hatiku untuk mengeluarkan kata-kata selanjutnya. “Aku berharap dirimu menerima cintanya, jika ia lebih baik dariku. Tentang bagaimana aku, jangan hiraukan!” Aku bukan melepasmu Mawan, tapi mengukur kejujuran dan kesetiaanmu, teriakku dalam hati. Itulah kata terakhirku sebelum menyonsong hujan yang tak jua berkurang lebatnya. Tak ada lagi senja. Antara hujan dan gelap aku tinggalkan Mawan di bangunan TK tua itu. Sayup-sayup terdengar Mawan memanggilku, “Aya…!”

Pagi
Mereka bertemu di antara kabut. Bukan cerita tentang kabut, tapi kabut hadir dengan pesonanya yang memburamkan pandangan di pagi ini. Darmawan duduk di sudut bangunanTK. Ayunan yang kemarin ia lihat bersama Aya masih tertutup kabut. Sesekali Darmawan melihat ke ujuang jalan, menunggu seseorang yang akan melintasi kabut.

Kabut, tak menipiskan keinginan Reka berjalan menelusuri jalan setapak dan berhenti di sebuah bangunan TK yang sudah tua. Reka berharap Darmawan menunggunya di sana.
“Reka! Aku pikir dirimu tak akan datang.” Kata Darmawan menyambut kedatangan Reka. Reka membalasnya dengan senyum kegembiraan karena Darmawan telah menunggunya.

“Terimakasih telah menungguku!” Disapu dinginnya kabut pagi, mereka duduk di sudut TK. “Setiap berjumpa dengan dirimu, Mawan, hari selalu terasa pagi. Dan pagi ini, sangat tak kuinginkan berlalu begitu saja. Aku harap, ini adalah pagi yang membawa berita baik” Ada senyum di bibir Reka, memperindah wajahnya yang lesung pipi.
“Boleh aku mengajukan satu pertanyaan, Rek?”
“Apa?”

“Tentang sahabatmu.” Darmawan menatap lekat ke arah Reka. “Apa dirimu tak pernah tahu tentang. . .”
“Tentang kalian. Bukankah begitu, Mawan?” sekilas mereka saling bertatapan. Reka lalu melarikan pandangannya ke pohon mahoni yang diburamkan oleh kabut. “Pastinya aku tahu. Tapi cinta ini memaksaku untuk berkorban, Mawan!. Tak pernah aku inginkan kehadirannya, namun rasa ini datang tanpa aku sadari.”
“Tapi, Aya sahabatmu!”

“Sekalipun dia sahabatku!”
“Apa yang dirimu inginkan dariku, Rek? Masih banyak pria yang lebih baik dariku.”
“Itu benar. Tapi, bagiku dirimu lebih baik untukku dibanding mereka!”
“Jika Aya melepasku untukmu, apa yang dirimu lakukan agar ia juga bahagia seperti kebahagiaan yang dirimu rasakan?”

“Sekali ini aku mohon pengorbanan dari seorang Aya!”
Mereka duduk sejajar menghadap jalan setapak. Sesekali kendaraan mondar-mandir di jalan itu. “Mawan, apakah cintaku hanya akan sia-sia saja? Berharap pada seseorang yang tak mungkin akan membalasnya.”
Mawan menatap lekat mata Reka. Mereka bertemu pandang pada situasi klimaks dari cerita segitiga ini. Jawaban yang diharapkan Reka tak kunjung keluar dari mulut Darmawan. Matahari semakin merangkak ke tengah. Kabut semakin menipis. Mahoni yang tadinya tertutup kabut kini terlihat sangat jelas dengan daunnya yang hijau.

Matahari tepat di atas kepala
“Kekuranganmu membuat aku merasa nyaman. Kehadiranmu menjadi langkah semangat bagiku. Melepasmu adalah kehancuranku.” Kataku di tengah terik matahari. Aku dan Mawan bersandar di bawah mahoni. “Satu hal lagi, Mawan!”

“Apa?”

“Tak semudah itu aku memberitahunya!”
Mawan menatapku. Dapat aku baca pikirannya, seolah ingin tahu apa yang aku maksud.
“Karena dirimu belum memilih, Mawan!” Di balik dinding TK itu, aku tahu ada sepasang telinga yang me-nangkap suaraku. Mendengar pembicaraan kami. “Aku atau Reka?” aku lanjutkan kata-kataku, berharap sepasang telinga di balik diding itu juga mendengarnya.

“Apa dirimu masih menginginkan kehadiranku di sisimu, Aya? Bukan aku yang memilihnya. Tapi dirimu sendiri yang akan memberi jawaban dari semua pertanyaan dan pilihan itu!”

“Terjawab sudah kebimbanganku, Mawan!” Reka, seseorang yang berada di balik dinding itu, aku tahu pengorbananmu yang sia-sia untuk Mawan. Tapi, dia memilih aku, Ma’af! Walapun dirimu sahabatku, kata hatiku saat itu. “Kesetiaanmu tak sanggup aku lepaskan. Itulah yang ingin aku katakan.” Ucap Aya.***



Artikel Terkait:

Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar