“Anak-anak, hari ini kita akan belajar menulis dan menceritakan pengalaman yang berkesan bagi kalian, baik itu pengalaman yang menyedihkan, menyenangkan maupun yang lucu. Ibu akan minta kalian menulisnya di dalam buku latihan,” kata Bu Fani panjang lebar. Beliau adalah guru bahasa Indonesia yang mengajar di kelas kami, IX B.
Hari ini Bu Fani meminta kami menulis pengalaman yang berkesan di hati. Tapi aku masih bingung mau menulis apa. Teman-teman sudah mulai menulis, pena menari-menari di atas kertas mereka. Kelas hening. Semua khusuk menulis pengalaman masing-masing. Aku terus mencoba mengingat-ingat kejadian atau pengalaman yang pernah ku alami. Hmm, akhirnya … aku ingat pengalaman atau tepatnya cerita lucu sekaligus memalukan bagiku. Cerita itu terjadi satu tahun yang lalu di sekolah ini ketika ku masih duduk di kelas VIII. Aku mencoba mengingat dan menuliskan kejadian itu.
Hari itu kelas kami akan melakukan praktikum biologi. Seminggu sebelum itu, Bu Mely guru biologi sudah meminta siswa per meja untuk membawa tumbuhan berakar serabut dan berakar tunggang pada hari ini. Kami akan mempelajari dan menemukan ciri-ciri tumbuhan berakar serabut dan berakar tunggang.
“Naila, tumbuhannya mana ? Kok nggak dibawa,”tanya Sinta teman sebangkuku. “Memang kemarin aku berjanji akan membawanya?”
“Ups, aku lupa membawanya. Padahal aku sudah menyiapkannya,” jawabku sesal. Tadi, aku sengaja bangun pagi-pagi dan mencari tumbuh-tumbuhan itu di belakang rumah karena ku pikir jika aku mencabut tumbuh-tumbuhan tersebut sore harinya tentu ia akan layu. Eh, tapi malah ketinggalan.
“Lalu bagaimana ? Hmm …, cari saja di belakang sekolah. Tuh Nina sama Wanda juga nggak bawa. Pergi saja sama mereka,” usul Sinta. Aku pun bergegas pergi ke belakang bersama dua orang temanku itu.
Jam dinding di depan kelas telah menunjukkan pukul 07:20 WIB. Sepuluh menit lagi lonceng masuk akan dibunyikan. Aku sedikit tergesa-gesa mencarinya.
Setelah menemukan tumbuhan untuk praktikum, akupun langsung menuju jendela kelas tepat di meja nomor dua, barisan tepi dekat jendela. Aku dan Sinta duduk di situ. Dan langsung mengulurkan tumbuhan yang masih kotor itu ke dalam dan berteriak “Sinta, cepetan dong ambil ini, bahan praktikumnya.”
Tapi aneh, ia tak mengambilnya dari tanganku. Aku memang tidak bisa melihat ke dalam. Jendelanya terlalu tinggi. Itupun aku terpaksa bersijingkat. Aku makin kesal sudah dua kali aku berteriak tapi ia tak kunjung mengambilnya. Aku pun menggerak-gerakkan tumbuhan yang masih kotor itu. Tiba-tiba seseorang berdiri dan menjulurkan kepalanya ke jendela.
Lho ! bukan Sinta ya, kok cowok ? pikirku kaget. Setelah aku perhatikan ternyata itu bukan kelasku. Itu adalah kelas IX yang bersebelahan dengan kelasku.
“Woi, ngapain lh? Rambut gue kotor ini,” kata laki-laki itu seraya menepiskan tanah yang mengenai kepalanya. Aku tersentak dibuatnya dan langsung berlari menuju kelasku. Uh, kenapa aku bisa salah begitu? Padahal dua orang temanku sudah mencoba memberitahu tapi aku tidak begitu mendengar kata-kata mereka dan dengan percaya dirinya aku langsung berlari ke jendela itu. Nasib…, nasib…, batinku.
Tadi sebelum aku berlari meninggalkan jendela tersebut, aku sempat mendengar siswa di dalam kelas itu menertawakanku. Malunya …, untung saja tak ada guru di dalam. Jika iya, tentu aku akan merasa lebih malu lagi.
Setibanya di kelas aku langsung duduk di bangku dengan napas masih sesak.
“Kok seperti orang shock gitu sich. Habis dikejar monyet ya ?” gurau Sinta padaku.
“Eh Sin, kamu nggak tahu ceritanya sich. Lucu banget.” Kata Wanda yang masih senyum-senyum mengenang kejadian tadi. Nina dan Wanda mulai bercerita dengan semangatnya.
“Nggak usah diceritakan, malu tahu.” Kataku di sela-sela cerita Wanda yang diselingi ketawanya yang keras. Ku lihat Sinta pun ketawa ngakak mendengarnya.
Tapi itu semua bukan sekedar cerita atau pengalaman lucu dan memalukan bagiku. Ada hikmahnya juga lho. Aku dan teman-temanku jadi akrab sama dia. Aku baru tahu setelah kejadian itu kalau dia anak baru di sekolah ini. Lucu juga ya, kesan pertamanya di sekolah ini. Untung dia tak dendam walau rambutnya ku buat kotor.
Orangnya baik dan awalnya agak pendiam. Tapi setelah kita dekat sama dia ternyata orangnya rame juga. Sekarang dia menjadi sahabat baik kami. Ternyata benar ya.
Di balik suatu musibah itu pasti ada hikmahnya. Tapi itu bukan musibah bagiku tepatnya nasib sial dapat malu hari itu. Hmm … ketika aku ingat kejadian itu. Aku cuma senyum-senyum sendiri. Aku terlalu ceroboh dan tergesa-gesa waktu itu.
“Teng…teng…” lonceng berbunyi, menandakan kalau jam pelajaran bahasa Indonesia telah berakhir. Setelah memeriksa tulisanku, aku pun memberikan pada Bu Fani. Begitu juga dengan teman-temanku.
Aku merasa senang hari ini. Menulis pengalaman yang berkesan. Sebenarnya kejadian itu hampir terlupakan oleh ku. Padahal itu adalah cerita awal dimulainya persahabatan kami. Semenjak dia lulus dari sini, aku dan teman-teman sudah lama tak berhubungan dengannya. “Sahabat, apa kabar ? bisikku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar