Enam tahun lalu…
Anna Nurul Puspita gadis manis yang cerdas, ceria, sedikit nakal namun punya seribu impian, salah satu impiannnya yaitu kuliah ke luar negeri di Sorbonne University dan jadi psikolog terkenal di Indonesia. Demi impiannya ini Anna mati-matian belajar, ia ingin mendapatkan beasiswa untuk kuliah di negeri yang kata orang adalah negeri terindah yaitu Prancis. Anna telah melewati ujian untuk mendapat beasiswa namun hasilnya baru akan keluar sebelum UAN diselenggarakan. Setiap hari Anna menunggu kabar dari pihak penyelenggara beasiswa tapi tak kunjung ada kabar, dia sangat berharap bisa mendapatkan beasiswa itu.
***
“Anna akan ke Sorbonne, yah…” dengan penuh semangat Anna mengumumkan hasil tes beasiswanya. Semuanya kaget namun beberapa saat kemudian bertepuk tangan dan tertawa riang. “Kepala sekolah yang memberitahu Anna, kemarin”, lanjut Anna sumringah.
“Selamat ya, nak. Ayah dan ibu bangga sekali sama kamu, semoga semua impianmu terwujud. Nah, sekarang kamu harus belajar lebih giat agar nilai UAN-mu nanti juga bagus,” ucap ayahnya hangat.
“Ya, syukur-syukur bisa dapat nilai tertinggi dan jadi juara umum ya, kak.” celetuk Farhan riang. Suasana makan malam di rumah yang sederhana itu menjadi sangat hangat dan penuh kebahagian.
***
Entah mengapa hari ini langit begitu mendung, matahari sama sekali tak menampakkan sinarnya. Awan hitam bertengger di atas langit dari pagi hingga petang. Anna duduk di teras sambil membaca buku, tapi sepertinya ia tengah melamun
“Kapan hasil UAN-mu keluar, nduk?” tanya buk Siti sambil mengelus rambut putrinya.
“Aah…ibu mengagetkan saja. Dua minggu lagi bu’e…” jawab Anna seraya memeluk ibunya Anna dan buk Siti larut dalam suasana sore yang hangat.
Tapi, tiba-tiba mereka dikagetkan oleh kedatangan dua orang Polisi ke rumahnya. Pak polisi itu menyampaikan sebuah kabar yang menghancurkan dunia Anna dan buk Siti.
Polisi yang bertubuh jangkung menyampaikan bahwa “Pak Burhan, mengalami kecelakaan, dan sekarang ada di rumah sakit. Tapi ibu harus sabar, karena Pak Burhan tidak bisa diselamatkan. Dia meninggal. Dan kami akan menyelidiki kasus ini,” jelasnya.
“Tidaaakk…” Anna histeris dan menangis sejadi-jadinya. Ibunya pingsan, beberapa saat kemudian sadar, dan menangis. Kemudian buk Siti bergegas ke rumah sakit bersama kedua polisi tadi.
Awan hitam yang bertengger semakin pekat, petir sesekali menyambar. Tak lama kristal-kristal bening turun dari langit, seakan ikut menangis bersama Anna. Beberapa saat kemudian buk Siti kembali bersama ambulans dan jenazah Pak Burhan, Anna kembali histeris ketika melihat tubuh kaku ayahnya.
“Ayah…ayah nggak boleh pergi secepat ini! Lihatlah Anna berhasil dulu! Anna akan ke Sorbonne, Yah! Anna akan jadi psikolog terkenal, Anna akan buat ayah bangga! Ayah bangun, yah…bangun….” Anna berteriak di samping jenazah ayahnya.
“Sabar, nak, sabar. Ikhlaskan semua, biarkan ayah pergi dengan tenang.” Lirih bu Siti perih.
Keesokan harinya jenazah Pak Burhan baru dikebumikan. Buk Siti terlihat tegar meskipun raut wajahnya masih menyisakan duka, matanya masih sembab karena tangis semalam. Anna hanya mematung di depan kuburan ayahnya, sesekali air matanya menetes namun terasa perih karena bulir-bulir bening itu hampir kering seakan telah habis terkuras. Anna memang sangat terpukul atas kematian ayahnya.
***
Hasil UAN sudah diumumkan, Anna Nurul Puspita juara umum SMA Harapan dan mendapat beasiswa kuliah di Sorbonne University. Namun, bagi Anna, semua ini tidaklah penting lagi. Ia rasa semua usahanya selama ini sia-sia karena dia tidak akan terbang ke Prancis. Semua mimpi-mimpinya terpaksa dikubur. Kuliah di Sorbonne dan jadi psikolog terkenal hanya tinggal impian.
Anna teringat ucapan ibunya dua hari yang lalu, “Nduk, sepertinya mimpimu untuk kuliah di Prancis tidak dapat ibu wujudkan. Sekarang keadaan kita sudah beda. Ayahmu sudah tidak ada. Ibu minta maaf, nak. Ibu tak sanggup membiayaimu jika kamu kuliah di luar negeri. Lebih baik kamu kuliah di sini saja. Maafkan ibu nak”,
Anna tertegun mendengar ucapan ibunya. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar, perasaan kecewa tertancap dalam di hatinya. Ia tak sanggup mendengar kata-kata itu. Tapi, cepat-cepat ia sembunyikan perasaannya. Walau berat ia berusaha untuk tersenyum.
Sejak Pak Burhan meninggal, keluarga Anna semakin sulit. Ditambah lagi ibunya yang sering sakit-sakitan dan adiknya yang akan segera masuk SMA. Dua semester telah berlalu, sekarang Anna memang sedang kuliah di salah satu universitas terkenal di kotanya. Namun, karena keadaan keluarga yang sepeti itu, Anna memutuskan untuk berhenti kuliah. Dengan berat hati Anna mengambil keputusan untuk berhenti dari kuliahnya dan ingin mencari pekerjaan. Kali ini impiannya benar-benar harus dikubur. Hatinya sangat sakit seperti tersayat sembilu tapi inilah hidup dan takdir, manusia hanya bisa berkeinginan.
***
Langit begitu pekat karena tak ada satu pun bintang yang menghiasi. Sang dewi malam sepertinya juga enggan menampakkan diri, Malam ini terasa sangat sunyi, hanya sesekali terdengar suara jangkrik, hewan malam lainnya sesekali juga ikut berdendang, seakan ikut larut dalam hawa dingin yang menusuk tulang. Jam dinding yang bergerak perlahan tak pernah lelah menggeser waktu dari detik ke menit, menit menjadi jam, begitulah takdirnya. Sudah sepertiga malam waktu berlalu, Anna terjaga dari tidur nyenyaknya. Ia segera bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, lalu berwudhu. Anna selalu terjaga di pertiga malam. Dia bertahajud mengadu pada Illahi Rabbi. Kadang ia bercerita tentang kejadian-kejadian yang dialaminya dengan senyum kebahagiaan tapi sering kali ia tergugu dihadapan-Nya.
Malam telah berlalu dan berganti pagi yang cerah. Secerah senyuman buk Siti, wanita setengah baya yang sangat dihormati dan disayangi Anna, yaitu ibunda tercintanya. “Nduk, ayo sarapan, ibu sudah siapin makanan kesukaanmu.” Suara buk Siti mengalun lembut ke kamar Anna.
“Ya, buk, sebentar…” Anna bergegas dan berlari menuju dapur.
Enam tahun sudah ayahnya meninggal dan Anna telah berubah menjadi gadis yang dewasa, santun dan penyayang. Saat ini Anna bekerja di salah satu perusahaan terkenal di kota kelahirannya, keadaan keluarganya mulai membaik dan ibunda tercinta tak lagi sering sakit-sakitan. Namun di lubuk hati terdalamnya masih ada kekecewaan yang tak bisa dihilangkan. Memang impian untuk kuliah di Sorbonne dan jadi psikolog terkenal tak dapat ia wujudkan, tapi melihat kebahagian kecil yang ia hadirkan dalam keluarganya membuat lukanya lambat laun dapat terobati.
Dalam hati kecilnya Anna masih berharap suatu saat nanti bisa tetap pergi ke Prancis walaupun bukan untuk menimba ilmu. Karena Anna sudah menyadari ilmu tidak hanya didapat dari bangku sekolah, tapi pelajaran yang paling berharga adalah pelajaran yang di dapat dari kehidupan.
“Anna, tunggu aku…” teriakan itu menghentikan langkah gadis manis berwajah oval dan berhidung mancung yang berjalan agak tergesa-gesa itu. Dia menoleh ke asal suara. Seketika senyumnya merekah melihat sahabat karibnya, senyum tulus yang menenangkan hati setiap orang. Lalu mereka berjalan bergandengan di bawah sinar mentari yang cerah, segera memulai hari dengan penuh semangat demi masa depan yang cerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar