Cerita di Balik Bukit Senja
Senja itu telah berlalu, tetapi Dinda masih berada di sana, menunggu sosok yang selama ini dia rindukan. Ia pandangi bukit senja itu, namun tak jua ia dapati apa yang ia tunggu-tunggu. Hingga senja merambat tua, ia belum juga beranjak, ia masih berdiri dan mematung. Bahkan sepertinya ia tidak mendengar seruan dari balik surau di bawah lereng bukit itu, sebuah seruan agar segera menunaikan kewajiban pada-Nya.
“Dinda, jangan berdiri di sana terus, ayo kita ke mushola.” Ajak seorang perempuan renta yang ia panggil nenek.
“Iya, nek.” Jawabnya singkat. Lalu ia berlari menyusuri lereng bukit yang berumput hijau itu. Sebuah tempat favorit Dinda untuk menanti senja tiba. Kini ia telah tiba di mushola mungil yang hanya ada beberapa orang saja yang bertandang ke sana.
Ia berusaha untuk tetap khusyuk di setiap sujudnya, namun di sujudnya yang terakhir, ia dapati potret wajah ibunya yang sedang tersenyum di balik jilbab putihnya. Kemudian ia bangkit dari sujudnya, dan yang ia dapati adalah tetesan bening yang mengalir dari sudut matanya.
Setiap kali ia menyelesaikan salam terakhirnya, ia selalu memanjatkan doa kepada Tuhan untuk ibunya yang telah membesarkannya sendirian tanpa seorang ayah, agar Dia selalu melindunginya, dan memberinya kesembuhan. Sudah dua tahun ibunya tergolek di dipan tanpa bisa bergerak, dan hanya sesekali ibunya berbaring di lantai saat ia merasa sudah letih berbaring di atas dipan. Dinda dan ibunya hanya hidup berdua saja, mereka tidak memiliki kerabat dekat selain tetangganya yang selalu dipanggil nenek oleh Dinda. Tetangganya itu tinggal tepat di belakang rumah Dinda. Hanya Dindalah yang kini merawat dan menjaga ibunya.
“Sudah makan, Din?” Tanya ibunya.
“Belum, bu,” Jawab gadis berusia sepuluh tahun itu.
“Kenapa?” Tanya ibunya lagi.
“Dinda mau puasa siang dan malam, agar Tuhan cepat mengembalikan ayah ke sisi kita.” Jawabnya polos. Sedang sang ibu hanya bisa menahan air mata.
Jika dibandingkan dengan gelandangan di luaran sana, mereka masih dibilang cukup beruntung, karena mereka masih memiliki rumah untuk berteduh dari panas dan hujan. Walaupun hanya nasi yang terbuat dari ubi yang mereka makan, namun setidaknya bisa mengganjal perut yang keroncongan. Ibunya yang lumpuh tidak bisa berbuat apa-apa, dan Dinda yang masih terlalu kecil harus bekerja keras mencari sesuap nasi demi mengisi perut mereka.
***
Pagi ini Dinda berangkat sekolah. Ia bersekolah dengan biaya beasiswa prestasi dari sekolahnya, jika tidak demikian maka bisa dipastikan ia tidak bisa bersekolah lagi. Sebelum berangkat, ia selalu menyelesaikan tugasnya memandikan dan memberi ibunya sarapan pagi terlebih dahulu, sering sekali Dinda harus terlambat ke sekolah karena jarak rumahnya dan sekolah cukup jauh jika ditempuh dengan jalan kaki.
“Assalamu’alaikum.” Ucap Dinda setelah berada di depan pintu kelasnya.
“Wa’alaikumsalam, silahkan masuk, Din.” Kata gurunya yang sudah memulai pelajaran matematika. Beruntung semua guru yang mengajarnya memahami kondisinya selama ini. Dia yang hanya hidup berdua dengan ibunya yang lumpuh, dan dia yang hidup tanpa seorang ayah, patut dikasihani. Mungkin karena alasan itu pula setiap awal bulan, sebagian guru-gurunya memberinya sumbangan, berbagai macam bentuknya, ada yang memberinya uang dan ada juga yang memberinya beras.
Pelajaran bahasa Indonesia masih teringat oleh Dinda ketika ia berjalan dengan lunglai menuju rumahnya. Ia masih teringat pelajarannya tadi yang menceritakan tentang sebuah keluarga, keluarga yang lengkap dan harmonis tentunya. Ia berjalan tertunduk sambil memandangi rumput-rumput yang bergoyang ditiup angin.
“Sudah pulang, Din?” Tanya ibunya.
“Ya…!” Jawabnya singkat sambil beranjak ke kamarnya. Lama sekali ia berkurung di kamarnya, sampai sore hari barulah ia menemui ibunya.
“Bu, ke mana ayah Dinda?” Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar begitu saja. Ibunya tercengang mendengar pertanyaan anaknya.
“Ayah sedang pergi merantau, nak.” Jawab ibunya lirih. “Mungkin sore ini atau besok ia akan pulang,” lanjut ibunya lagi. Padahal ia sendiri tau bahwa suaminya itu tidak akan pernah pulang, tidak hari ini, besok, ataupun lusa.
Kali ini, Dinda telah berada kembali di bukit senja miliknya di belakang rumah. Untuk menuggu ayahnya yang akan turun dari kereta api yang melintas di jalan bawah bukit tempatnya berdiri. Setiap hari ia mendatangi bukit itu untuk menuggu kedatangan lelaki yang hanya ia kenal melalui cerita-cerita ibunya, walau tak pernah ia dapati ayahnya turun, namun ia selalu melakukannya. Selama ia menjalani hari-harinya dengan hayalan ayahnya akan kembali pulang.
“Ayaaah…!” Teriaknya tiba-tiba saat melihat sesosok laki-laki turun dengan menggendong tas ransel berwarna hitam. Ia berlari menuruni bukit dengan cepat. Sebuah bukit yang menjadi saksi bisu saat ibunya tergelincir jatuh karena berlari mengejar bayang-bayang lelaki bertas ransel hitam, persis yang dilihat oleh Dinda. Saat itu ibunya sedang mengandung Dinda, dan usia kandungannya itu memasuki bulan ke sembilan, sesuai dengan bulan di mana ayah Dinda meninggalkannya pergi untuk merantau.
Dinda terus berlari menyusuri jalanan yang sedikit berbatu, tanpa alas kaki yang melindunginya dari tajamnya kerikil. Sesampainya ia di jalan raya, yang ia dapati hanyalah segerombolan kambing gembala yang sedang digiring oleh penggembalanya. Ia tak melihat sosok yang ia teriaki ayah tadi. Ia juga tak menemukan sisa-sisa bayangan lelaki itu.
Akhirnya ia pulang dengan gontai. Ibunya masih tergeletak di atas dipan yang beralaskan tikar pandan, ia pamitan kepada ibunya hendak ke mushola bersama nenek sebelah rumahnya, ia lihat ibunya masih terbaring lemah di sana.
“Mungkin ibu sedang shalat maghrib.” Pikirnya. Lalu ia keluar dan melangkah ke Mushala untuk mengaji. Lama Dinda berada di Mushala mungil itu. Sampai shalat isya’ tiba, ia menyelesaikan shalatnya terlebih dahulu baru pulang.
Hari gelap karena hujan akan turun sepertinya, ia percepat langkah kakinya, hingga nenek yang setia menemaninya ia tinggalkannya di belakang. Ia nampak begitu tergesa, ada perasaan aneh menelusup di dadanya tiba-tiba. Pe-rasaan tidak enak terhadap ibunya.
“Buu..!” Panggilnya setelah sampai di rumah. Namun rumahnya tampak sunyi. Tidak ada jawaban dari ibunya.
“Ibu…!” Panggilnya sekali lagi sambil mencari ibunya di kamarnya. Namun ternyata ibunya tidak berada di sana. Ia lari ke dapur, ibunya juga tidak ada.
“Ke mana ibu?” Tanyanya dalam hati dengan cemas. Kemudian ia berlari ke sumur yang berada di belakang rumahnya, ternyata ia dapati ibunya berada di sana dengan keadaan tersungkur. Dan ketika ia balikkan badan ibunya yang kurus itu, ia lihat wajahnya pucat. Kemudian ia pegang denyut nadinya, ternyata sudah tidak terasa lagi. Di bawah langit gelap karena mendung hitam, lafaz Innalillahi itu terucap dari mulut mungil seorang anak yang berusia sepuluh tahun.***
Hami Salisati,
Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris
UIN Suska Riau
Alumni MAN 1-Pekanbaru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar