Welcome to Blog Ghea INFO Thank you for your visit Indonesian Language Blog It Is To Use It In Your Language, Use Google Translate

Selasa, 05 April 2011

Gebetan Sobatku

“Aku lagi jatuh cinta nih, Din”.
Dinda cuek saja mendengar kata-kata Rani dan tetap meneruskan novel yang sedang dibacanya.
“Hei Din, dengarin dulu dong,” kata Rani kesal karena nggak digubris alias dikacangin.
“Iya, Non. Aku dengarin koq. Cowok mana lagi kali ini yang membuat dirimu kesetrum oleh getaran-getaran cinta?” tanya Dinda seraya menaruh buku bacaaannya di samping tempat tidurnya.
Sebenarnya Dinda agak segan mendengar cerita Rani. Sobatnya sejak SMP hingga kuliah di universitas yang sama dan sekost pula ini pasti naksir cowok lagi. Biasanya itu nggak akan bertahan lama. Paling cepat dua minggu dia sudah hilang feeling alias ilfil sama tuh cowok dan beberapa hari kemudian naksir cowok lain lagi.
“Nah, gitu dong. Itu baru namanya sobat yang baik”.
“Udah, jangan muji-muji segala. Ayo cepat cerita, mumpung aku lagi mood nih”.
“Kamu kenal Yopen nggak, Din?” tanya Rani tanpa banyak basa-basi menyebut nama cowok yang membuatnya jatuh cinta.
Mendengar nama cowok itu disebut, Dinda kaget juga. Tentu saja ia kenal cowok yang satu fakultas dengannya itu.
“Oii, ditanya koq diam aja”.
“Sapa tadi namanya?” Dinda pura-pura nggak dengar.
“Sejak kapan sih kamu jadi budek, Din,” gerutu Rani kesal.
“Bukan gitu Ran. Aku kurang jelas aja, yang kamu sebut itu Roben atau Yopen?”
“Yopen ….Yopen. Ngapain aku jatuh cinta ama Roben si playboy pemetik bunga itu”.
“Ya, sapa tau kamu ngiler liat mobil mewahnya anak pejabat itu”.
“Ih, nggak banget deh”.
“Jadi cowok yang kamu taksir kali ini Yopen, Ran?”
“Iya, kamu kenal nggak? Dia kuliah di Hukum juga”.
“Selagia aku satu fakultas dengannya, ya kenal lah, masa ya nggak kenal dong,” canda Dinda.
“Tadi aku ngeliat dia main basket, duh keren banget Din”.
Dinda diam saja, tapi dalam hati ia mengiyakan kata-kata temannya itu. Memang Yopen ‘keren banget’, mulai dari wajah dan bodinya yang atletis karena suka olahraga, otaknya pun encer. Ditambah lagi tuh cowok aktif di mahasiswa pecinta alam dan Badan Eksekutif Mahasiswa. Pokoknya two thumbs up alias keren abis deh.
“Din, dia udah punya cewek atau belum ya?”
“Siapa?”
“Duh, kamu ini bolot banget sih. Yang kita lagi bicaraain kan Yopen, ya Yopen lah,”
“Oh…. Yopen. Kayaknya sih belum Ran. Tapi dia tuh termasuk high quality jomblo, jadi banyak yang naksir”.
“Iya siiih. Tadi aja pas aku kenalan ama dia, banyak cewek lain yang ikut-ikutan”.
“Ah, kamu udah kenalan ama Yopen? Kapan?”
“Ya, abis dia main basket tadi.”
“Terus gimana?”
“Ya nggak gimana-gimana.”
“Terus?”
“Duh, kamu ini kayak tukang parkir aja Din, main terus-terus aja.”
“Ya, maksudku terus kamu mau gimana? Mau titip salam ama Yopen gitu?”
“Duh, hare gene masih pake titip salam?”
“Terus?”
“Kan mulai lagi tukang parkir.”
“He …he … sori deh. Abis ngeliat bibirmu monyong kayak bamper mobil sih.”
“Mendingan bemper mobil daripada bemper becak.”
“he …he … iya juga ya. Terus eh lalu gimana Tuan Putri? Apakah yang bisa hamba bantu?”
“Kamu punya nomor hp-nya nggak Din?”
“Ada, kamu mau?”
“ya, jelaslah. Berapa nomornya?” tanya Rani bersemangat seraya mengeluarkan hp dari tas yang dibawanya.
Hampir saja Dinda langsung menyebutkan nomor hp cowok keren itu. Dia memang hafal di luar kepala nomor hp Yopen, selain nomornya gampang diingat, karena nomor cantik juga karena Dinda sebenarnya menyimpan rasa suka pada cowok itu.
Dinda dan Yopen sama-sama aktif di mahasiswa pecinta alam. Hubungan keduanya pun sudah begitu akrab walau masih sebatas teman biasa. Tapi Dinda kadang-kadang berharap suatu saat Yopen akan ‘menembaknya’.
“Mana nomornya Din? Koq malah bengong?”
“Bukannya bengong, tapi bingung. Hp-ku lupa kutaruh dimana,” dinda berusaha ngeles alias mencari alasan. Padahal sih hp-nya ada di meja belajarnya.
“Itu tuh, hp segitu gede nggak keliatan.”
“Eh, iya.”
Dinda mengambil hp-nya dari atas meja dan mulai memencet-mencet tutsnya mencari nomor Yopen.
“Catet baek-baek ya Ran, karena nggak ada siaran ulangan.”
“Iya …. iya ….. berapa nomornya?”
Dinda menyebutkan nomor hp Yopen dan Rani langsung memasukkan di hp-nya.
“Makasih ya Din.”
***
Dugaan Dinda meleset. Ternyata kali ini Rani benar-benar cinta mati sama Yopen. Dua minggu terlewati dan kini sudah terhitung dua bulan Rani tebar pesona pada cowok itu. Ini merupakan rekor yang patut dicatat di MURI.
Karena itu pula Dinda kemudian menghadapi buah simlakama. Tau buah simalakama nggak? Buah simalakama ini konon kabarnya kalau dimakan bapak kita mati, tapi kalau nggak dimakan ibu kita mati. Pilihan yang sulit kan? Nah inilah kira-kira yang dihadapi Dinda.
“Din, aku pengen kamu jadi pacarku.”
Itulah kata-kata yang keluar dari mulut Yopen ketika mereka jalan beriringan setelah mengikuti acara mahasiswa pecinta alam.
“Apa Pen?” tanya Dinda nggak percaya apa yang baru didengarnya. Benerkan Yopen menembak dirinya?
“He …. eh, aku suka ama kamu. Aku pengen jadi pacarmu. Mau nggak?” Yopen jadi salah tingkah sambil garuk-garuk rambut gondrongnya.
Benar Yopen menembaknya, sorak Dinda dalam hati. Duh, tapi tiba-tiba dia ingat Rani. Wah gimana ini?
“Kamu nggak harus jawab sekarang koq Din,” kata Yopen tersenyum.
Duh, leganya Dinda.
“Kukasih waktu dua minggu ya buat ngasih jawaban,” kata Yopen sebelum keduanya berpisah.
***
“Din, liat nih apa yang kubeli,: kata Rani menunjukkan sebuah topi.
“Duh, keren banget Ran. Nemu dimana?”
“Enak aja nemu, beli tauk.”
Dinda hanya senyum-senyum saja melihat sobatnya itu sewot. Ia kembali asik menekuni lembaran-lembaran novel yang sedang dibacanya.
“Ini buat Yopen, Din.”
Mendengar nama Yopen disebut-sebut langsung saja jantung Dinda berdetak lebih keras dan kencang.
“Siapa?” tanyanya dengan nada keras. Ia sampai kaget mendengar suaranya sendiri.
“Duh, kamu ini Din. Makin parah aja budeknya. Yopen, Yopen,” teriak Rani menyebut nama cowok gebatannya itu.
“Maksudku siapa yang nanya,” sahut Dinda mulai bisa mengendalikan diri.
“Ah, jayus banget sih Din. Eh, tapi menurutmu Yopen suka nggak topi pilihanku ini?”
“Pasti suka. Kamu tau aja kalo dia penggemar AC Milan, Ran.”
“He, he … Rani gitu loh. Oke Din, makasih ya,” kata Rani seraya meninggalkan kamar Dinda.
Saat itu juga Dinda memutuskan akan menolak Yopen.
***
Esok harinya di kantin kampus. Dua minggu waktu yang diberikan Yopen buat Dinda telah habis. Kini cowok itu harap-harap cemas menanti jawaban Dinda.
“Bagaimana jawabannya Din?”
Dinda hanya terdiam.
“Apa kamu masih perlu waktu lagi?”
Duh, harus kujawab sekarang. Kalau dibiarkan berlarut-larut bisa makin gawat keadaannya, batin Dinda.
“Hm, sebenarnya …..,” akhirnya Dinda bersuara. “Sebenarnya aku udah punya pacar Pen. Kami jadian sejak SMA dan sekarang pacaran jarak jauh,” sambung Dinda berbohong.
Yopen menarik napas dalam-dalam. Terlihat jelas rasa kecewa di wajahnya.
“Gitu ya, berarti aku telat ya.”
“Maafin aku ya Pen.”
“Nggak, kamu nggak salah koq Din.”
“Kita masih tetap teman kan?” tanya Dinda pelan.
‘Ya iyalah, kita masih tetap teman. Tenang aja din, aku bisa nerima koq.”
Dinda berusaha tersenyum walaupun di dalam hatinya menangis. Ketika apa yang diimpi-impikannya selama ini telah di depan mata, ia harus melepaskannya. Tapi ini terbaik demi persahabatannya dengan Rani, Dinda berusaha menghibur diri.
***
Dari kantin Dinda langsung pulang ke kost. Sebenarnya masih ada satu mata kuliah, tapi ia lagi nggak mood.
Sebelum ke kamarnya ia mampir di kamar Rani yang pintunya terbuka.
“Wah Ran? Mau kemana? Rapi banget,” tanya Dinda melihat Rani berdandan habis-habisan.
“Ada deh,” sahut Rani sambil tetap sibuk berdandan di depan cermin.
Dinda duduk di tempat tidur memperhatikan sobatnya itu asik memulas bibirnya dengan lipstik warna pink.
“Loh, topi AC Milannya koq digeletakin di lantai Ran?” tanya Dinda heran melihat topi yang katanya buat Yopen itu tergeletak pasrah di pojokan.
Rani nggak segera menjawab pertanyaan Dinda. Ia masih sibuk melihat hasil pulasan bibirnya. Setelah merasa sempurna baru dia menghadap ke arah Dinda.
“Aku punya kabar baru, Din.”
“Kabar apa, Ran?”
“Aku baru dikenalin ama abang temanku. Nih cowok taruna Akabri, duh keren banget deh pokoknya. Sekarang aku diajak jalan ama dia. duh jam berapa ini Din?” tanya Rani seraya melirik ke arah jam weker di meja belajarnya.
“Aduh, sudah hampir jam lima, bisa telat aku.”
Dinda hanya terdiam mendengar kalimat panjang lebar yang diucapkan Rani.
“Aku pergi dulu, Din. Buru-buru nih, titip kamar ya,” kata Rani sambil memakai sepatu hak tingginya.
“Topinya buat kamu aja Din, kamu juga ngefans AC Milan kan!” terdengar suara Rani dari kejauhan.
Dinda diam terpaku di tempat tidurnya, lalu mengambil topi AC Milan itu, memerasnya dan melemparkannya kembali ke tong sampah. Rani ….. Rani …. ternyata kamu nggak berubah.


Artikel Terkait:

Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar