Welcome to Blog Ghea INFO Thank you for your visit Indonesian Language Blog It Is To Use It In Your Language, Use Google Translate

Jumat, 19 November 2010

Silsilah Keluarga Aneh

Silsilah Keluarga Aneh


Matahari tetap terbit dari timur dan tenggelam di ufuk barat, walau kini aku telah berumur dua puluh dua tahun. Matahari boleh tetap bergulir dari timur ke barat, tapi perjalanan hidupku tak mampu bergulir tetap. Perubahan demi perubahan menjadi warna dalam hidupku. Si Bujang Senang.
“Puas-puaskan masa mudamu. Agar kelak, tidak menjadi duri dalam keluarga.” Kata-kata mendiang ibuku yang telah lama meninggal. Masih kental di ingatanku. Keinginan berumah tangga pun timbul tenggelam, bagai sabut yang dipermainkan gelombang pasang di lautan lepas.
“Kamu kurang apa lagi, Juv? Tampang punya. Pekerjaan oke. Umur pun sudah lanjut.” Kata Revo di suatu pagi. Saat kami bertemu di sebuah kedai kopi.
“Belum ada jodoh agaknya.” Kataku asal-asalan. Padahal hati di dalam sedang gundah.
“Cari-carilah. Usaha perlu. Doa pun jangan engkau lupakan. Tak mungkin tunggu beruban dulu baru nak meminang anak orang.”
Aku membenarkan kata-kata Revo, temanku waktu SMP. Sekarang dia sudah berkeluarga dan mempunyai seorang anak perempuan. Senang betul aku lihat kehidupan mereka. Sedangkan aku? Tak laku-laku. Ada yang hendak sama aku, aku pula yang tak berminat. Giliran aku yang berminat. Gadis yang aku taksir itu sudah jadi istri orang. Melepas lagi. Mungkin aku kena pelalau agaknya?
Sejak pertemuan dengan Revo itu. Aku terus berusaha dan berdoa. Baru setelah usiaku memasuki dua puluh tiga tahun, aku berkenalan dengan seorang janda cantik berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Namanya Kharisma. Janda itu memiliki anak yang juga sangat cantik berusia dua belas tahun. Namanya Mayang. Ternyata dia cocok mendampingiku. Tidak lama kemudian kami menikah. Pestanya lumayan besar. Semua sanak saudara tidak ketinggalan menerima sepucuk surat undangan.
Rupanya kebahagian tidak bertahan lama. Aku ditugaskan ke Palembang. Butuh waktu yang lama untuk berkumpul lagi. Tapi ada satu hal yang buat aku semangat untuk bekerja dan cepat pulang, kesetiaan Kharisma menungguku kembali.
Tak terasa sudah lima tahun aku bekerja di Palembang. Baru tiga kali aku pulang. Pagi itu aku menerima telepon dari Kharisma. Dia suruh aku pulang karena ayahku yang sudah duda mau menikah lagi. Mungkin dia kesepian. Tapi alangkah terkejutnya aku ketika mendengar calon istri ayahku itu Mayang. Anak tiriku yang saat ini berumur tujuh belas tahun. Rupanya mereka sudah saling mencintai.
Aku tak bisa pulang kerena pekerjaan menumpuk. Dengan berat hati terpaksa aku merestui pernikahan mereka. Dan tak lama kemudian mereka menikah. Hal ini berarti ayahku sekaligus menjadi menantuku, suatu hal yang membingungkanku, sebab anak tiriku sekaligus menjadi ibu tiriku karena dia menikah dengan ayahku. Meskipun secara hukum pernikahan mereka adalah legal dan sah. Tetap saja masalah itu membebani pikiranku.
Belum selesai masalah ayahku dengan Mayang. Kembali pikiranku terbebani. Istriku melahirkan seorang anak laki-laki. Bukannya gembira, aku malah stres bila memikirkannya karena anakku menjadi saudara dari anak tiriku, berarti dia adalah saudara dari ayahku. Ini berarti anakku sekaligus pamanku. Suatu hal yang membuatku sedih sekali.
Ujian hidup makin bertambah saat istri ayahku, yang juga anak tiriku melahirkan seorang anak perempuan. Hal ini berarti anak perempuan itu cucuku, karena aku adalah suami dari neneknya. Dan sekaligus saudara perempuanku, karena dia anak dari ayahku.
Istriku ibu dari anak tiriku. Yang juga menjadi ibu tiriku, karena dia istri ayahku. Berarti dia istriku, dia juga sekaligus nenekku, sebab dia nenek dari saudara perempuanku. Bila istriku adalah nenekku, berarti aku cucunya. Ini betul-betul membuatku tambah pusing.
Tiap hari aku hanya memikirkan silsilah keluarga anehku saja. Prestasi kerja menurun. Tugas-tugas kantor terbengkalai. Untung atasanku pengertian. Dia menyuruhku pulang untuk mengistirahatkan pikiran. Saking parahnya kondisiku, sesampai di rumah Kharisma tidak mengenalku. Dia malah memberiku uang recehan. Dikiranya aku pengemis. Hal itu disebabkan tampangku urak-urakan. Wajahku kelihatan lebih tua, padahal umurku baru empat puluh tiga tahun.
Dua hari berikutnya. Aku berjalan keliling kampung di bawah sinar matahari yang menyengat. Di saat aku kebingungan tanpa arah. Pundakku ditepuk seseorang. Secepat kilat aku menoleh ke belakang.
”Juviter, ’kan?” Lelaki muda itu menebak-nebak.
”Iya, siapa ya?” Aku coba mengingat-ingat sambil memijit pelipis.
”Aku Revo, temanmu waktu SMP.”
Aku baru ingat. Revo, dia kelihatan lebih muda dan gagah dari aku. Dia mengajakku ke rumahnya. Kami berjalan beriringan bagai seorang kakek yang dituntun oleh cucunya. Tidak lama kemudian kami sampai di sebuah rumah besar. Rumah itu berdinding keramik warna abu-abu bening. Atapnya terbuat dari genteng berglazur warna hijau mengkilat. Rumah berantena parabola itu mempunyai halaman luas ditanami dengan rumput hias yang mirip bentangan permadani. Kami duduk diteras biar full angin.
”Kenapa engkau kelihatan lebih tua, Juv?” Revo bertanya sambil menyeruput teh hangat yang baru dihidang oleh istrinya.
”Banyak masalah yang membebani pikiranku, Vo”.
”Masalah apa?”
”Silsilah keluargaku Aneh”.
”Aneh gimana?”Aku menceritakan silsilah keluargaku dari awal sampai akhir. Revo menggeleng-geleng kepala.
”Benar-benar membingungkan.” Revo berkomentar sambil menatap iba kepadaku.
”Kamu dengar saja sudah bingung, apalagi aku yang mengalaminya”.
Satu hal yang bikin aku gila bila memikirkannya adalah, sebagai suami dari nenekku, berarti aku menjadi ’KAKEK DARI DIRIKU SENDIRI!”



Artikel Terkait:

Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar